Petani memanen daun tembakau di Dusun Lamuk Gunung, Kelurahan Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (22/9/2010). Petani tembakau di sekitar Parakan, Temanggung, dan Wonosobo merugi akibat mengalami gagal panen. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang tinggi pada masa panen tembakau sehingga mengakibatkan kualitas dan produktivitas tanaman tembakau menurun.
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Hindra
Namun hujan bukanlah satu-satunya pukulan yang membuat petani jatuh “knock-out”. Di masa sulit seperti sekarang petani tetap harus membayar pelbagai potongan
KOMPAS.com – Inilah musim panen paling buruk bagi petani tembakau Temanggung. Hujan lebat berkepanjangan sepanjang Agustus hingga September lalu telah mematikan “emas hijau” yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Ribuan petani gagal panen dan merugi hingga ratusan juta rupiah. Musim panen yang buruk itu semakin terasa pahit karena praktik tata niaga tembakau –setidaknya di Temanggung-- bukannya meringankan beban, tapi malah semakin memberatkan petani.
Hudi, pemilik tiga hektar kebun tembakau di Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, mengaku rugi hingga Rp 15 juta. Selama musim tanam ini, Hudi menghabiskan Rp 20 juta untuk membeli bibit dan pupuk, tapi hasilnya hampir tak ada. Tahun lalu, ia bisa panen 40 keranjang, sekarang baru lima keranjang.
“Itupun sudah bagus,” kata Hudi, ditemui akhir September lalu.
“Ada yang tidak panen sama sekali,” imbuhnya.
Nasib yang sama menimpa Ismanto, petani di Tlahap, Kecamatan Kledung. Tahun lalu, dari setiap hektar kebunnya, ia dapat memanen tiga kuintal tembakau, kini hanya 92 kilo. Sebagian besar modal Ismanto hilang ditelan hujan. Ia mengaku telah menghabiskan Rp 30 juta, belum termasuk ongkos panen, untuk musim tanam tahun ini. Hasilnya?
”Hanya Rp 11,5 juta,” katanya.
Petani Knock=Out
Nasib Eno, petani di Desa Loji, Tegalrejo, Ngadirejo, lebih parah lagi. Hujan yang terus mengguyur bukan hanya membanjiri kebun tembakaunya dengan air, tapi juga menbanjiri kehidupannya dengan tunggakkan utang. Di awal musim tanam, simpanan Eno yang Rp 15 juta hanya cukup untuk membeli bibit, pupuk, pestisida dan cadangan biaya perawatan.
Untuk menyewa lahan, Eno masih harus cari pinjaman modal Rp 10 juta, dengan bunga tak main-main: 40 persen satu musim tanam. Kini, Eno harus memutar otak bagaimana mambayar pinjaman Rp 14 juta itu. Hingga masa panen berakhir, Eno baru mendapatkan 60 kilo tembakau kering, atau hampir sepersepuluh hasil panen tahun lalu.
“Gimana mau untung, sudah habis buat bayar utang,” keluh Eno.
Wahno pemilik kebun tembakau seluas 750 meter persegi di Desa Bansari merasa masih bisa bersyukur. Ia mengaku, musim ini ia tidak meminjam uang dari juragan.
“Tahun lalu saya bisa panen 15 keranjang, sekarang cuma dapat tiga keranjang,” ujarnya.
Ia mengaku ikhlas modal Rp 25 juta raib akibat hujan. Hingga petikan kedua, akhir September lalu, Wahno baru mendapat uang tak sampai Rp 3 juta.
Temanggung merupakan salah satu sentra tembakau terpenting Indonesia. Lahan tembakau Temanggung merupakan lima persen total lahan tembakau nasional. Tembakau Voor-Oogst (ditanam musim hujan dan dipanen musim kemarau) yang dihasilkan wilayah ini sebagian besar diborong produsen rokok besar, seperti Gudang Garam, Djarum, Nojorono, dan Bentoel. Tahun lalu, misalnya, Gudang Garam menyerap 6.500 ton tembakau Temanggung, sedangkan Djarum 2.500 ton.
Menurut Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Rumantyo, hasil panen tembakau Temanggung tahun ini diperkirakan anjlok 40 persen menjadi sekitar 8.000 ton. Ini sangat disayangkan karena jumlah permintaan tembakau justru meningkat dari 12.000 ton (tahun 2009) menjadi 14.000 ton tembakau kering tahun ini.
Namun hujan bukanlah satu-satunya pukulan yang membuat petani jatuh “knock-out”. Di masa sulit seperti sekarang petani tetap harus membayar pelbagai potongan, antara lain potongan 20 persen dari berat kotor yang diterapkan grader (penentu kelas mutu tembakau yang ditempatkan pabrik di gudang). Jika petani menyetor 50 kilogram tembakau kering, misalnya, yang bisa jadi duit hanya 40 kilogram saja.
Menurut Hudi, potongan grader ini memang berlaku umum, tapi tingkat tarifnya berbeda. Di Muntilan, Jawa Tengah, yang hanya berjarak tak sampai 40 kilometer dari Temanggung, misalnya, potongannya hanya 10 persen. Bagi Hudi, Ismanto, Eno dan Wahno, potongan grader ini dirasa sangat memberatkan. Wajarnya, kata Hudi, grader hanya motong berat keranjang yang cuma sekitar lima kilogram.
Jalan Berkelok ke Pabrik
Selain potongan grader, sistem tata niaga tembakau membuat nasib petani semakin nelangsa. Sampai hari ini, petani tidak bisa menjual langsung ke pabrik, tapi harus melalui pengepul atau tengkulak, kemudian ke grader di gudang, baru kemudian pabrik. Yang punya akses ke gudang hanyalah para tengkulak, yang memiliki KTA alias Kartu Tanda Anggota (baca: Rantai Panjang Tata Niaga).
Di tingkat pengepul, petani sudah kena potongan biaya angkut Rp 10.000 tiap keranjang. Selain itu masih ada potongan biaya gendong (menurunkan keranjang dari truk ke gudang) Rp 5.000 dan biaya numpleg (menumpahkan isi keranjang) antara Rp 5.000-Rp 10.000 per keranjang. Total jendral, selain potongan grader 20 persen berat kotor, tiap keranjang masih kena pangkas, paling tidak Rp 20.000.
Jika nasib petani harus terbelit potongan macam-macam, nasib pengepul atau tengkulak justru sebaliknya: mereka mereguk untung gede-gedean hanya dengan modal koneksi dan uang. Menurut pengakuan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Temanggung, Ahamd Fuad, yang juga menjadi pengepul, besarnya keuntungan tengkulak bisa 50 persen.
Timbul, Pengurus APTI Temanggung juga menyatakan hal senada.
“Jadi tengkulak untungnya lebih gede. Uang yang kuasa. Kalau petani kan harus berkeringat,” katanya.
Keterangan ini juga diakui Wiwit, mantan tengkulak untuk Gudang Garam. Kata Wiwit, tengkulak tak perlu capek-capek merawat lahan, bergelut dengan cangkul dan pupuk.
“Yang penting kenal petani dan punya modal. Kalau cuaca bagus, jual tembakau pasti untung,” katanya.
Sedapnya nasib tengkulak terutama disebabkan karena mereka memiliki kartu tanda anggota (KTA) – tiket masuk untuk menembus gudang (grader). Menurut Eno, sulit bagi petani kecil untuk mendapatkan kartu sakti itu.
“Susah, itu ada mafianya. Nepotisme. Mereka yang bisa masuk gudang hanyalah keluarga orang-orang gudang,” katanya.
Fuad menyatakan hal senada. Awalnya, pengetahuan Fuad soal tembakau nol besar. Belakangan, Fuad dapat durian tuntuh: teman sepermainan semasa sekolah di Temanggung memberinya KTA. Kartu inilah yang membawanya memasuki bisnis tembakau sampai sekarang. Menurut Fuad, begitu berharganya KTA, orang mau menyewanya dengan tarif Rp 20 juta-Rp 30 juta setiap kali musim panen. (HIN)
sumber : http://www.kompas.com/tembakau/tulisan3.html
0 komentar:
Posting Komentar